Archive for 2014

Politik Kenyamanan

Orang baik.
Semua orang yang diciptakan di bumi ini jelas, memiliki keinginan untuk menjadi orang baik. Ntah baik menurut dirinya sendiri, atau baik juga untuk orang lain. Ntahlah. Aku pun sangat ingin menjadi orang baik. Heran, aku bingung bagaimana cara dan proses manalagi yang harus aku tempuh.

Aku pernah berusaha menjalani suatu itikad baik, sebut saja dalam sebuah hubungan. Itikad yang mungkin aku coba konkritkan tidak hanya sekedar visualisasi, atau verbalisasi, malah semua telah aku coba dengan suatu realisasi. Jelas dan konkrit.
Tapi memang tidak semudah itu, terkadang apa yang tersirat tak sama dengan apa yang tersurat, atau apa yang disuratkan, bukanlah inti dari hal yang menyiratkan. Susah mencari sinkronasi dari hal itu. Aku mulai bingung (dengan kalimatku sendiri).

Dalam sebuah hubungan, apakah sebuah kenyamanan menjadi inti penting? Atau legalitas? Atau hanya sekedar formalitas?
Semua masih menjadi teka-teki. Tapi teka-teki inilah yang menarik untuk aku teruskan. Ntah teruskan menjadi teka-teki abadi, atau berhasil kupecahkan. Aku semakin bingung (mungkin kalian juga).

Hakikat kenyamanan, dalam harfiah adalah suatu rasa yang hanya mampu dirasakan tanpa adanya suatu dwag, dwaling, bedrog (dalam hukum perdata, yang berarti paksaan, kekhilafan, dan ancaman). Rasa nyaman itu tentu sangat naif apabila aku deskripsikan secara harfiah, karena jelaslah rasa tersebut adalah abstrak dan kadang adalah rasa yang sulit dijelaskan.

Lanjut ke topik, apakah kenyamanan menjadi sebuah legalitas atau malah sekedar formalitas?
Didalam prakteknya, ya memang kenyamanan tidak terlepas dari kriteria mereka yang ikhlas dan menjadi orang baik didalam rasa itu sendiri. Karena suatu rasa yang tidak dipaksakan memang hanya dirasakan oleh orang yang berusaha baik. Mungkin. Aku bukan orang baik, jadi aku tidak tahu tentang ini (Lagi berusaha).

Kalau kenyamanan hanya sebagai suatu formalitas, bukankah esensi dari hubungan tersebut terkikis? Mungkin aku setuju dengan opini yang satu ini (padahal semuanya aku setuju, karena aku yang menulis). Tapi apabila aku dan/ atau kalian yang bersedia mengkaji lagi, benarlah, jangan menjadikan kenyamanan menjadi satu hal utama. Apalagi menjadikan kenyamanan sebagai kitab/ panutan/ bahkan mazhab dalam sebuah hubungan. Aku sendiri yakin, kenyamanan memang tidak menjamin semuanya.

Karena apa, rentetan perkara atau perjalanan didalam suatu hal yang sedemikian kita (aku) usahakan dalam itikad baik, tidak serta merta hanya mementingkan kenyamanan. Ada yang pernah bilang, "nyaman saja tidak cukup, butuh A, B, C, D". Ya, memang tidak bisa aku pungkiri. Sekarang timbul lagi pertanyaan, ABCD yang dimaksud itu apa? Semua lebih abstrak dari sebuah kenyamanan tadi.

Tapi ada satu hal yang mungkin bisa aku tarik benang lurus dari hal-hal ABCD itu, ya jelas saja ada hal yang lebih penting dari itu. Usaha. Aku rasa kita tidak bisa memungkiri bahwa suatu Usaha lah yang akan menjamin semuanya. Ingat, jaminan tak selalu indah. Jaminan bisa berupa pendapatan/bonus, bisa juga berupa kerugian. Jadi pintar-pintar kita yang ber Usaha untuk mengejarnya.

Selanjutnya, tentu kita (maksudnya aku) harus pandai, pintar, dan giat dalam menempatkan posisi. Sebagai seorang yang sedang berjuang dalam itikad baik, dan menjadi orang baik. Mau tidak mau aku harus bisa menjadi siapapun, apapun, dan dengan cara bagaimanapun didalam suatu posisi, atau peran apa yang harus kita lakoni dalam sebuah kondisi (yang dia butuhkan). Tidak mengharapkan hal muluk-muluk, tapi justru berusaha dengan semuluk-muluk kemampuan yang dimiliki.

Bertahun-tahun aku selalu mengamalkan suatu teori yang ku rakit sendiri : "Mencintai proses. Ntah aku akan dibawanya lurus kedepan, atau berbelok kemana proses itu berjalan". Sama sekali tidak aku pungkiri, mazhab yang aku gunakan ini cukup ampuh. Sampai saat ini. Segala usaha yang aku lakukan, memanglah suatu proses, dimana aku harus dibawanya lurus kedepan, tetap tegak dalam pendirian (sedikit egoisme) dan akan dapatkan jawaban setelah menembus garis finish. Atau pilihan kedua, aku tetap menjalani proses ini, dan berbelok untuk menentukan suatu keputusan yang berbeda dengan niat awalku. Itulah proses, mencintai awalnya, dan akan aku temukan cinta-cinta dalam suatu perjalanan yang aku harapkan adalah suatu hal dengan itikad baik.

Yang pasti, seorang pejuang yang berfikir dan menanamkan hati ikhlas, tulus, dan aman, tidak akan memikirkan hasil. (Hasil hanyalah sebagai bonus, ntah bonus pendapatan atau malah kerugian). Tapi yang terpenting adalah terus berusaha dan berusaha. Bukan untuk mendapatkan apa yang di inginkan, tapi mencari pendapatan dalam sebuah proses. Make it easy.

Posted in | Leave a comment

Mencoba Menjadi Dewa

Aku memang sibuk.
Sibuk dengan buku-buku ku yang dianggap mereka bacaan pemuda frustasi yang tinggal menunggu maut. Atau paling tidak sedikit dari mereka kalau buku-buku itu hanya bacaan pemuda kurang kerjaan yang mendedikasikan dirinya untuk masa lampau, masa dimana mungkin ibuku belum lahir disana. Ya, mungkin masa dimana kakek dan nenekku baru mengenal cinta.

Aku memang sibuk.
Sibuk dengan doktrin-doktrin dari bacaan hingga tontonanku yang mereka anggap 'not important'. Banyak teman sejawad yang mungkin heran dan sedikit menyindir tentang Soe Hok Gie. "Soe Hok Gie? Siapa itu? China mana yang kau kagumi itu? Kau atheis?"
Manusia memang diciptakan untuk men-judge dengan apa yang mereka lihat, bukan yang mereka tahu lebih dulu.
Aku tak akan panjang lebar bicara Gie disini, percuma, tidak akan ada yang mengerti.

Aku memang sibuk.
Sibuk dengan idealisme konyol ku tentang pandangan politik. Banyak kawan juga yang mencibir: "Ngurusin politik? Mau bagaimanapun negara kita akan tetap seperti ini!". Ya, manusia dibebaskan untuk berkomentar, jelas di Pasal 28A-J UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia. Aku cukup diam.
Masalah mengapa aku kadang sibuk dengan idealisme konyol ku tentang politik, jelas menurutku dan menurut yang kubaca dari Gie "Mendiamkan kesalahan adalah kejahatan". Aku berkomentar sesuai apa yang aku lihat, dan tentu dengan mengkaji dulu, dan aku tidak sekedar ngoceh, tapi aku mencoba menggali dan memberi solusi.

"Aku akan bertahan pada prinsip-prinsipku, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan". Ungkapan Gie ini mungkinlah pantas menjadi landasan berfikir ku, karena selagi aku yakin dan percaya dengan apa yang kufikirkan, akan selalu kuperjuangkan itu. Aku tak akan takut plintat-plintut menghancurkan hematku. Karena aku pun tahu, mahasiswa dan pelajar Indonesia adalah pelajar-pelajar yang tercipta dalam kondisi yang keras dan disiplin, jadi semua akan membentuk sebuah pemikiran yang kokoh dan pendirian yang teguh.

Aku memang sibuk.
Sibuk sehingga aku sedikit melupakan sebuah euforia anak muda, euforia yang mereka sebut sebagai manis madunya usia belasan. Usiaku sudah 19tahun, aku dikira sudah usia 30an tahun dengan sikap-sikap sok sibuk dan sok idealisme ku ini. Euforia anak muda, senang-senang, hura-hura, hingga bermain pada kemunafikan. Ku katakan, aku mungkin tidak seperti itu, walaupun kalau disuguhkan mainan cantik, mungkin aku goyah, tapi lebih baik kutegaskan, semua sesuai kehendak ilahi.

Euforia cinta masa muda.
Ya, aku tak ketinggalan perihal itu. Semua kurasakan, mengagumi si A, kemudian mencintainya, lalu aku bersikap pasif, karena aku tahu, semua tidak akan lebih indah apabila aku teguh pada "perjuangan" meraih mimpi-mimpiku. Mungkin masih banyak ambisi dan obsesi ku hingga aku seakan menyampingkan cinta. Padahal, ya aku butuh.

Ucapan demi ucapan keluar : "Mana ada wanita muda yang mau dengan anak lelaki biasa saja dengan bacaan tahun 80an", "Dia terlalu sibuk ngurusin politik, jadi wanita takut tak keurus kalau sama dia". Sudah biasa. Dan aku bahagia dengan cara ini, aku membentuk karakter yang mungkin tanpa usaha pun akan terbentuk, tapi aku akan membentuknya sendiri, agar aku tahu bagaimana cara menghargai dan mencintai sebuah proses.

"Ada pria dan wanita yg begitu merasa kesepian, sehingga mereka percaya bahwa Tuhan pun kesepian" Gie. Jadi seorang intelek itu harus berani kesepian dan berani dibenci. Namun aku masih terlalu banyak kawan yang tahu dan cukup mencintaiku, untuk membentuk suatu idealisme, bahwa peleburan beberapa karakter dibutuhkan. Bukan untuk perbandingan, namun pengembangan.

Posted in | Leave a comment

Doaku Untukmu

Sudah lama tampaknya aku tak bergusar dalam goresan-goresan, terakhir lalu saat aku bersikukuh berhenti melawan takdir itu. Takdir yang sudah banyak orang tahu, tentang ke egoisan yang diharamkan mereka, dan sebagian lagi hanya senyum menggerutui tiap langkah yang kuambil. Namun aku katakan dalam tulisanku sebelumnya, aku benar-benar sudah kalah. Aku menyerah pada takdir yang bertahun kucoba lawan, dan takdir yang ada dan tiada pun oleh ulahku sendiri.

Demi apapun aku tak ingin 'dejavu' macam itu kembali menghampiri, cukup bagiku menjadi pesalah yang bertahun mengalah, dan aku ingin bangkit untuk menghancurkan tembok-tembok yang lambat laun akan membentuk stigma buruk tentang diriku ini. Aku bisa berdiri dalam ke egoisanku, tapi aku sulit bertahan karena tak ada yang mampu mengimbangiku dalam ke egoisan itu. Aku mengharapkanmu mampu untuk itu.

Puji syukur, aku terlahir dengan sebuah tekad kuat dan ketetapan hati untuk memilih seorang yang kuanggap mampu untuk menjadi teman yang akan mengimbangiku dalam ke egoisan itu. Ketika penyeimbang itu dikirim Tuhan untukku, makan ke egoisan itu aku yakin akan disulapnya menjadi kehangatan yang sedikit pedas, tapi tetap nikmat. Persis seperti semangkuk bakso yang biasa kunikmati.

Perjalanan yang mungkin sudah lumayan panjang yang telah dipersembahkan yang Maha Skenario padaku sudah memberikanku banyak pelajaran dan pemahaman. Tentang, oh itu yang namanya susah, dan Waw ini toh kenikmatan dunia. Semua seakan terangkum nyata dalam setiap langkahku menapaki jejak jejak baru yang akan dan atau harus kutemui kedepannya. Semua sangat berharga.

Aku menemukanmu sebagai sosok yang indah. Dalam gemulaian parasmu dan dalam cerita-ceritamu aku berfikir apakah kau akan masuk dalam jejak jejak hidupku kedepannya. Mungkin terlalu dini untuk mengatakan demikian, sebab semua kemungkinan masih akan terjadi kedepannya. Namun apasalahnya aku mencoba merangkum apa yang aku lihat dan mencoba menerka semua yang ingin kubangun dalam pondasi yang mungkin akan kita isi berdua nanti, atau akan tetal kuisi sendiri.

Aku kembali terpatri dan kuharap aku terpatri pada posisi terbaik yang dijanjikan Tuhan untuk hambanya yang berusaha untuk menjadi baik. Aku berusaha menambatkan hati ini padamu, walau mungkin akan sulit terjamah akan sosokku yang sukar dalam urusan seperti ini. Aku memang lebih sering dipecundangi dalam hal ini, sedikit dikasih gula, sisanya akan menjadi pahit juga. Namun, aku bukan bersikap apatis terhadap sebuah rasa, aku hanya ingin antipati terhadap setiap yang dulu pernah terjadi.

Segenap pertanyaan menyeruak ke permukaan, pantaskah aku mengagumimu? Sia-siakah aku mengharapkanmu? Padahal aku pun tak pernah mempersulit perkara ini. Hanya saja, banyak orang yang terlalu ingin turut mencampuri sebuah lahan yang sampai kapanpun mereka tak akan bisa menginjakan kaki disana. Lahanku ya lahanku. Tapi, tidak salah mereka menyibukan perkara ini demikian, karena itu logis dan mungkin realistis. Yang kemudian akan menjadi acuan bagiku, untuk tetap lanjut, dan menghargai setiap proses yang akan berjalan dan mencintai proses itu, atau berhenti dan mencari perkara baru.

Serba salah menjadi diriku yang ditakdirkan akan hal ini. Namun sejauh ini aku akan tetap tegap berdiri dan aku akan setia dalam pengharapan bahwa ini yang akan kubuahi dikemudian hari. Berusaha menjadi seseorang seperti janji Tuhan, orang baik untuk orang baik. Dan aku tahu diriku sekarang belum menjadi orang yang baik untuk menggapai dirimu
yang baik itu. Aku masih harus banyak berusaha dan belajar dari hidup ini.

Bantu aku untuk tetap bertahan dalam semua kebaikan yang akan ku usahakan, bimbing aku dalam setiap lantunan kebaikan yang akan kita cita-citakan, dan sambut aku dengan senyuman saat kita ditakdirkan untuk bersanding.

One day, we can going stand there and be happy.

Posted in | Leave a comment

Aku Bukan GIE

Ternyata aku memang harus sadarbahwa aku sudah kalah. Kalah oleh takdir yang bertahun ini coba untukku lawan.Segala daya dan upaya yang coba ku kerahkan, namun itu bukan apa-apa,dibanding pertahanan takdir yang melapisi setiap ironi perjuanganku dan perjalananku.

Aku tahu, kamu tahu,dan mungkin semua pun tahu bagaimana aku bisa bertahan dari waktu. Sendiri melawan arus dan takdir.Sesimpel apa itu impianku. Semua terpatahkan oleh mereka yang mengharamkan semua niat halalku.

Dalam perjalanan ini,banyak sekali yang harusaku lawan,mulai dari mereka yang bertindak munafik yang siap menerkamkusewaktu-waktu. Aku juga harus melawan kelicikan oknum yang takpernah ikhlas melihatku menang untuk sementara.Satu lagi,aku juga harus berjuang menghancurkan ke-sok-tahuan dunia. Semua menjengkelkan, dan tidak adil karena aku hanya berdiri sendiri.

Ntah apakah ini ujung dari keputus-asa-anku, atau kejenuhanku yang mulai mekar dan memenuhi isi rongga perasa ini. Tapi satu yang pasti, aku sudah benar-benar tidak sanggup dan mungkin ini akhir dari perjuangan yang aku rangkai dan buat sendiri.

Soe Hok Gie memang selalu berkoar-koar " Aku tidak mau menjadi pohon bambu,aku mau menjadi pohon oak yang mampu melawan angin". Dan aku rasa,pohon oak-ku pun sudah ditebas oleh kecurangan dunia. Aku berusaha berdiri menjadi pohon oak-nya Gie, namun dunia bertindak lebih kejam dari itu.

Aku tahu dan mengerti, seorang idealis keras seperti Gie atau Tan Malaka, haram bagi mereka mengenal kata menyerah. Aku pun berusaha menanamkan doktrin semacam itu, tapi sama saja aku mencekik leher sendiri dan menyayat nadi ini. Semua akan terlihat percuma. Aku hanya berusaha melawan arusku, mencoba membunuh penghalang takdir indahku, dan merangkai skenario dahsyatku untuk aku dan impianku.

Terkadang idealisme dan ke-egoisan sulit dibedakan. Tapi dikala aku sudah mengibarkan bendera putih ini, masihkah dunia menyebut itu ke-egoisan? Tolonglah jangan bertindak seperti partai-partai nakal yang hanya merasa hebat karena kekuasaan, dan menjerit pilu apabila di-injak-injak. Manusia sekarang memang terlihat sulit mendeskripsikan atau menganalogikan jengkal kehidupan masing-masing.

Aku menyerah memang karena aku kalah.Aku kalah hebat, kalah berisi, dan kalah karena aku terlalu jujur (mungkin). Aku takluk karena memaksakan idealisme yang ditanamkan Gie didalam otakku. Tapi itulah, aku bukan Gie yang tak pernah takut dengan dunia. Aku mengibarkan bendera putih pun dengan ketulusan.

Aku teramat mencintaimu, tapi mana cintamu? Sudahlah, lupakan. Semua telah kukubur dalam ketulusanku dan akan mati dalam sumpahku untuk menjagamu lewat semua doa dalam solatku.

Posted in | Leave a comment
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.