Archive for Januari 2015

Ada Saran Judul?

Susah menafsirkan seseorang yang 'mungkin' berarti atau yang setidaknya 'mungkin' teristimewa didalam lingkaran hidup. Atau mungkin harus aku ralat kalimat pertama, lebih tepatnya kata pertama pada kalimat pertama diatas. Bukan susah, tapi bingung. Lebih tepat.

Begitu banyak hal-hal yang telah terekam oleh mentari dan diabadikan oleh malam. Mungkin itu sebagai faktor kebingungan. Menempatkan kata per kata yang sekiranya terbaik untuk manusia yang dianggap juga baik, itu juga ibaratkan berperkara dalam perkara. Sedikit beresiko. Tapi kalau benar, sanjungan yang diterima.

Aku pernah mencoba menafsirkan 'ia' yang kuanggap berarti. Sejak awal bahkan sebelum semua semakin berarti. Dari awal memang terjadi banyak pertentangan. Banyak kontras yang mencekik, bahkan kalimat-kalimat mereka menghidupkan amarahku. Mereka juga mungkin berusaha menggigit bahkan menggerogoti suatu jalinan yang aku anggap 'indah'. Tapi mungkin merekalah temanku. Aku bisa belajar banyak dari negativistik mereka akan aku. Sejak saat itu juga aku berusaha menegakkan payung teduh, agar setidaknya bisa meneduhkan bibir-bibir mereka sebentar.

Ada juga serigala yang seakan mengimbangi tafsiran diri aku akan sesuatu terbaik itu. Sebenarnya merekalah yang membuatku semangat. Tapi disatu sisi, mereka inilah yang bisa kapan saja menjadi musuh utama aku. Aku akan berpuas diri, dan berhenti berusaha menjadi yang baik. Tapi, tak ayal aku memang sangat membutuhkan mereka-mereka. Apalagi saat ini.

Aku sadar aku membutuhkan mereka-mereka untuk selalu mengoreksi diri aku, membajak semua kejelekan ku dan berusaha untuk memperbaiki diri. Terlebih, aku juga butuh 'ia' sebagai media utama agar aku bisa menjadi lebih baik, baik buat aku, 'ia', lalu? Kita. Mungkin. Hah!

Aku masih berfikir, apa aku bisa menjadi orang baik agar aku akan tetap pada jalan, impian, dan niat aku untuk hal terbaik itu. Sampai saat ini pun aku masih sulit mendeskripsikan keterbaikan hal itu. Lebih banyak ketakutan dari pada keberanian. Masuk ke materi pembahasan pun aku tampaknya segan. Tapi akan ku coba.

Sesuatu yang terbaik itu, pada awalnya (berarti pernah, sempat, bisa dibilang sangat) aku perjuangkan. Walaupun hanya sekedar usaha kecil, untuk aku dan aku lah. Antara usaha dan niat memang harus sejalan lurus. Karena itulah Rule of Law dari apa yang aku anggap terbaik itu. Aku rasa kalimatku makin mengada-ada.

Pernah ada yang bilang aku terlalu tulus memperjuangkan apa yang aku anggap baik ini. Omong kosong. Tidak ada ketulusan seperti ini. Dari dulu aku tahu yang namanya ketulusan secuil apapun itu, tidak bisa diucapkan dengan kata-kata bahwa 'aku tulus', karena itu sesuatu yang cukup prinsipil dalam hati. Apabila hal tersebut diucapkan, maka lunturlah makna beserta esensi dari 'tulus' itu. Sejuah ini yang aku amalkan, hanya terus usaha, dan perjuangkan apa yang dianggap baik, sejauh mana kebaikan itu tidak berpaling.

Tugas manusia-manusia yang 'berusaha' tulus seperti yang tertulis diatas. Namun, ada kalanya mereka bingung, atau kehabisan akal dan cara apalagi yang harus mereka lakukan. Aku khawatir dengan hal ini, terlebih dengan diri aku sendiri. Ketika menemukan jalan buntu, banyak manusia yang berusaha memutar jalan balik untuk kemudian menemukan dua pilihan lagi : berbelok untuk menemukan jalan yang menjadi tujuan sebelumnya, atau kembali ke fase awal seperti belum pernah berniat untuk mencari tujuan tersebut. Satu lagi yang bisa dilakukan manusia yang 'berusaha' tulus ketika menemukan jalan buntu dalam usahanya itu, yaitu : memecahkan jalan buntu tersebut. Yang ini nampaknya kerap dipilih mereka. Tapi aku tak akan pernah menyentuh hal demikian.

Satu hal yang aku tahu mengapa 'ia' atau sesuatu itu aku anggap terbaik. Karena 'ia' memang pantas diperjuangkan, tanpa ketidakberdayaan aku memonopoli keadaan saat ini, 'ia' atau sesuatu itu masih ku anggap terbaik. Sampai harinya nanti, ntah akan naik strata menjadi sesuatu yang istimewa, atau justru terjun ke hal yang tidak aku duga.

Hal lain yang aku mengerti lagi, bahwa sesuatu yang terbaik itu, adalah tempat aku belajar. Aku bisa mempelajari bahwa ambisi sangat erat dengan egoisme, maka dari itu, aku harus bisa mengontrol keduanya agar tidak menjadi disparitas kekuatan, aku tinggikan ambisiku cukup dengan seper-sekian dari egoisme diri aku. Karena aku juga manusia yang mungkin memiliki berjuta ego pribadi.

Ada lagi, aku bisa belajar bahwa keyakinan juga sangat erat hubungannya dengan optimistis. Setiap manusia memiliki keyakinan akan jalannya yang membuat aku tahu, bahwa dengan optimis, semua akan terasa lebih terang. Tapi tidak semuanya seperti itu. Aku tahu bahwa sikap optimis yang akan membuatku terlalu bersemangat, aku hanya takut aku akan keluar dari jalurnya untuk mendapatkan sesuatu itu.

Ternyata semua masih harus aku pelajari. Hingga aku lulus dan mendapatkan bonus dari semua yang mungkin telah disiratkan dari yang maha punya skenario.

Aku manusia biasa. Mungkin aku butuh, mungkin aku juga ingin. Tapi semua masih dalam proses fit and proper test ilahi. Akan ada hal datang dan pergi seperti matahari dan bulan yang bergantian mengisi. Akan ada juga senyum dan tangis beriringan dalam bahagia dan dalam sendu. Tapi aku yakin semua akan selalu ada kesempatan untuk saling menjadi orang baik dan menjadi orang yang pernah 'berusaha' tulus dan berjuang

Aku sayang 'ia', sesuatu yang terbaik itu.

Posted in , , | Leave a comment
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.