Archive for Agustus 2014

Mencoba Menjadi Dewa

Aku memang sibuk.
Sibuk dengan buku-buku ku yang dianggap mereka bacaan pemuda frustasi yang tinggal menunggu maut. Atau paling tidak sedikit dari mereka kalau buku-buku itu hanya bacaan pemuda kurang kerjaan yang mendedikasikan dirinya untuk masa lampau, masa dimana mungkin ibuku belum lahir disana. Ya, mungkin masa dimana kakek dan nenekku baru mengenal cinta.

Aku memang sibuk.
Sibuk dengan doktrin-doktrin dari bacaan hingga tontonanku yang mereka anggap 'not important'. Banyak teman sejawad yang mungkin heran dan sedikit menyindir tentang Soe Hok Gie. "Soe Hok Gie? Siapa itu? China mana yang kau kagumi itu? Kau atheis?"
Manusia memang diciptakan untuk men-judge dengan apa yang mereka lihat, bukan yang mereka tahu lebih dulu.
Aku tak akan panjang lebar bicara Gie disini, percuma, tidak akan ada yang mengerti.

Aku memang sibuk.
Sibuk dengan idealisme konyol ku tentang pandangan politik. Banyak kawan juga yang mencibir: "Ngurusin politik? Mau bagaimanapun negara kita akan tetap seperti ini!". Ya, manusia dibebaskan untuk berkomentar, jelas di Pasal 28A-J UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia. Aku cukup diam.
Masalah mengapa aku kadang sibuk dengan idealisme konyol ku tentang politik, jelas menurutku dan menurut yang kubaca dari Gie "Mendiamkan kesalahan adalah kejahatan". Aku berkomentar sesuai apa yang aku lihat, dan tentu dengan mengkaji dulu, dan aku tidak sekedar ngoceh, tapi aku mencoba menggali dan memberi solusi.

"Aku akan bertahan pada prinsip-prinsipku, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan". Ungkapan Gie ini mungkinlah pantas menjadi landasan berfikir ku, karena selagi aku yakin dan percaya dengan apa yang kufikirkan, akan selalu kuperjuangkan itu. Aku tak akan takut plintat-plintut menghancurkan hematku. Karena aku pun tahu, mahasiswa dan pelajar Indonesia adalah pelajar-pelajar yang tercipta dalam kondisi yang keras dan disiplin, jadi semua akan membentuk sebuah pemikiran yang kokoh dan pendirian yang teguh.

Aku memang sibuk.
Sibuk sehingga aku sedikit melupakan sebuah euforia anak muda, euforia yang mereka sebut sebagai manis madunya usia belasan. Usiaku sudah 19tahun, aku dikira sudah usia 30an tahun dengan sikap-sikap sok sibuk dan sok idealisme ku ini. Euforia anak muda, senang-senang, hura-hura, hingga bermain pada kemunafikan. Ku katakan, aku mungkin tidak seperti itu, walaupun kalau disuguhkan mainan cantik, mungkin aku goyah, tapi lebih baik kutegaskan, semua sesuai kehendak ilahi.

Euforia cinta masa muda.
Ya, aku tak ketinggalan perihal itu. Semua kurasakan, mengagumi si A, kemudian mencintainya, lalu aku bersikap pasif, karena aku tahu, semua tidak akan lebih indah apabila aku teguh pada "perjuangan" meraih mimpi-mimpiku. Mungkin masih banyak ambisi dan obsesi ku hingga aku seakan menyampingkan cinta. Padahal, ya aku butuh.

Ucapan demi ucapan keluar : "Mana ada wanita muda yang mau dengan anak lelaki biasa saja dengan bacaan tahun 80an", "Dia terlalu sibuk ngurusin politik, jadi wanita takut tak keurus kalau sama dia". Sudah biasa. Dan aku bahagia dengan cara ini, aku membentuk karakter yang mungkin tanpa usaha pun akan terbentuk, tapi aku akan membentuknya sendiri, agar aku tahu bagaimana cara menghargai dan mencintai sebuah proses.

"Ada pria dan wanita yg begitu merasa kesepian, sehingga mereka percaya bahwa Tuhan pun kesepian" Gie. Jadi seorang intelek itu harus berani kesepian dan berani dibenci. Namun aku masih terlalu banyak kawan yang tahu dan cukup mencintaiku, untuk membentuk suatu idealisme, bahwa peleburan beberapa karakter dibutuhkan. Bukan untuk perbandingan, namun pengembangan.

Posted in | Leave a comment
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.