Archive for September 2012

Peristiwa G30S/PKI ( Dikenang dan Dipelajari )

Menjelang akhir masa demokrasi Terpimpin, PKI memperoleh kedudukan strategis dalam percaturan politik di Indonesia. Kondisi ini diperoleh berkat kepiawaian Dipa Nusantara Aidit dan tokoh-tokoh PKI lainnya untuk mendekati dan mempengaruhi Presiden Soekamo. Melalui cara ini, PKI berhasil melumpuhkan lawan-lawan politiknya sehingga suatu saat PKI akan dengan mudah dapat melaksanakan cita-cita menjadikan negara Indonesia yang berlandaskan atas paham komunis.

Kendati demikian, PKI belum berhasil melumpuhkan Angkatan Darat yang pimpinannya tetap dipegang para perwira Pancasilais. Bahkan pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat semakin meningkat memasuki tahun 1965. PKI melempar desas-desus tentang adanya Dewan jenderal di tubuh AD berdasarkan dokumen Gilchrist. Tuduhan itu dibantah AD dan sebaliknya, AD menuduh PKI akan melakukan perebutan kekuasaan.

PKI menganggap TNI terutama Angkatan Darat merupakan penghalang utama untuk menjadikan Indonesia negara komunis. Oleh karena itu, PKI segera merencanakan tindakan menghabisi para perwira TNI AD yang menghalangi cita-citanya. Setelah segala persiapan dianggap selesai, pada tanggal 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan. Aksi ini dinamai Gerakan 30 September atau G 30 S/PKI. Gerakan ini dipimpin Letkol Untung Sutopo, selaku Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa.

Pada 1 Oktober 1965 dinihari pasukan pemberontak menyebar ke segenap penjuru Jakarta. Mereka berhasil membunuh dan menculik enam perwira tinggi Angkatan Darat. Enam perwira Angkatan Darat korban keganasan PKI tersebut ialah
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani,
2. Mayor Jenderal R. Suprapto,
3. Mayor Jenderal S. Parman,
4. Mayor Jenderal M.T. Haryono,
5. Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan
6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.


Jenderal Abdul Haris Nasution (Menteri Kompartemen/Kepala Staf Angkatan Bersenjata) yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri dari upaya penculikan. Akan tetapi, puterinya, Ade Irma Suryani meninggal setelah peluru penculikmenembus tubuhnya. Dalam peristiwa itu tewas pula Lettu Pierre Andreas Tendean, ajudan A.H. Nasution yang dibunuh karena melakukan perlawanan terhadap PKI. Demikian pula Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang tewas ketika mengawal rumah Wakil Perdana Menteri(Waperdam) II Dr. J. Leimena, yang rumahnya berdampingan dengan Jenderal A.H. Nasution.

Di perkampungan Lubang Buaya para pemberontak PKI beramai-ramai menyiksa dan membunuh para perwira TNI AD. Mayat-mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur kering dengan kedalaman 12 meter. Para pemberontak kemudian menyumbat lubang tersebut dengan sampah dan daun-daun kering.

Bagaimanakah sesungguhnya kejadian saat itu ?
Simaklah penuturan saksi mata peristiwa G 30 S/PKI, Letkol (Purn) Pol. Sukitman yang lolos dari upaya pembunuhan!

Pada 30 September malam dan menjelang dinihari 1 Oktober 1965, saya dengan mengendarai sepeda tengah patroli di Jalan Iskandarsyah, Kebayoran Baru. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Ketika saya cek, saya dihadang pasukan Cakrabirawa. Saya kemudian diseret dan dimasukkan di kabin sebuah bus di samping sopir. Dengan todongan senjata, kedua tangan saya diikat ke belakang, dan kedua mata saya ditutup kain. Saya baru tahu beberapa hari kemudian tembakan itu berasal dari rumah Jenderal D.I. Panjaitan.

Dari bus, saya kemudian diturunkan di sebuah tempat. Dan ketika tutupan mata saya dibuka, masih dalam suasana remang-remang saya melihat di sekitarnya telah penuh dengan pasukan sukarelawan (sukwan) dan sukarelawati (sukwati) Pemuda Rakyat dan Gerwani. Saya kemudian dibawa ke dalam tenda. Di sini saya mendengar kata-kata. Yani wis dipateni (Yani telah dibunuh). Saya juga melihat ada orang yang telentang berlumuran darah, dan ada yang duduk sambil diikat tangan dan ditutup matanya. Kemudian saya ditawan di sebuah rumah, bentuknya seperti sekolah emperan, karena ada bangku-bangku dan papan tulis. Di tempat ini, menjelang matahari terbit, saya menyaksikan satu persatu tawanan itu diseret dan kemudian diceburkan ke sumur, mereka kemudian ditembaki. Tembakan diarahkan dari kepala hingga kaki. Sementara para sukwan dan sukwati dengan bersorak-sorak meneriakkan yel-yel Ganyang Kapbir (kapitalis birokrat) dan Ganyang nekolim.

Saat penyiksaan, saya benar-benar ngeri dan takut. Saya hanya pasrah kepada Tuhan. Saya sendiri tidak tahu, kalau yang disiksa itu para pahlawan revolusi. Waktu itu saya menyangka mereka para kapbir seperti yang disebutkan oleh PKI. Saya juga tidak tahu kalau tempat yang banyak pohon karetnya itu Lubang Buaya.

Di sini, saya juga melihat seorang berbadan pendek dan gemuk terikat tengah diseret-seret dengan todongan senjata. Matanya ditutup. Kemudian orang itu, didudukkan di kursi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tapi ketika orang itu menolak, ia diikat kembali. Kemudian diseret dan diceburkan ke sumur, untuk kemudian ditembaki seperti yang dialami rekan-rekannya. Saya baru tahu kemudian, orang itu adalah Jenderal S. Parman. Setelah semua korban dimasukkan ke sumur, kira-kira pukul 08.00 pagi, para sukwan dan Sukwati beramai-ramai menutupi sumur dengan sampah dan daun pohon yang telah kering. Saya kemudian dipanggil Lettu Dul Arif dan Letnan Siman, keduanya dari Cakrabirawa yang menjadi komandan penculikan para jenderal. Lettu Dul Arif mengembalikan senjata saya, carabine jungle yang sudah patah kayunya.

Pada sore hari, saya dibawa Lettu Dul Arif ke sebuah lapangan di Halim Perdanakusuma, dekat Penas. Kemudian saya bersama Iskak, sopir Lettu Dul Arif mengambil nasi ke suatu tempat dekat markas provost AURI. Kemudian kembali iagi ke daerah Halim untuk membagi-bagikan nasi. Di sini saya tertidur sampai pagi.

Pada 2 Oktober 1965, saya melihat satuan-satuan Cakrabirawa telah berganti pakaiannya. Bila sebelumnya mereka memakai jaket dan seragam coklat, kini loreng-loreng. Pada sore hari, saya berada sendirian, karena lelah saya berteduh di bawah kolong bus dan kemudian tertidur. Dalam keadaan sadar tidak sadar, kemudian saya mendengar suara-suara tembakan. Mendengar tembakan, pasukan yang dipimpin oleh Dul Arif lari kocar-kacir menggunakan truk-truk dan saya ditinggalkan sendirian. Saya menganggap kejadian ini sebagai mukjizat dari Allah swt. Bagaimana jadinya kalau saya tidak tidur, dan ikut bersama dengan pasukan pemberontak. Atau mereka menembak mati saya terlebih dahulu.


Setelah berhasil membunuh beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sorehari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi.

Catatan saya :
Didalam sebuah tulisan ini, saya tidak sedikitpun bermaksud buat mengungkit atau pun menguak luka lama bangsa ini. Namun, hendaklah anak bangsa sudah sepatutnya mempelajari, mengingat, dan mengerti peristiwa besar bangsa ini. Tak akan ada lagi yang mengingat hal ini kalau bukan kita.

Apalagi kita tahu sendiri, sebenarnya peristiwa ini masih meninggalkan banyak misteri. Misteri seperti apa? kalian yang mencermati peristiwa ini pun akan tahu.
Memang untuk saat ini, bukan kita yang hendak memecahkan misteri itu, namun, suatu saat mungkin. Akan ada anak bangsa yang berhasil mengungkap sebuah rahasia besar yang CIA pun hingga sekarang masih bungkam seribu bahasa.

Ambil hikmah nya, dan hargai jasa-jasa mereka yang telah hilang nyawa demi kehormatan bangsa. Bukan dengan perang, namun dengan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan kita dengan cara apapun kita bisa.

sumber terkait : http://klikbelajar.com/pengetahuan-sosial/peristiwa-g-30-spki-1965/
Dengan perubahan "catatan saya".

Posted in | 2 Comments

Cerpen : Hantu Didalam Gelas

Di klab malam itu, malam sudah semakin larut, dentuman musik pun perlahan makin mengecil, seiring dengan makin berkurangnya customer yang beberapa jam yang lalu cukup memenuhi klab malam ini. Mataku sekarang hanya tinggal 5watt. Ibaratkan seorang pasien yang sekarat dan tinggal menunggu detik kematian nya saja, mataku pun begitu, tinggal menunggu detik ia terpejam. Namun badanku seakan tak mengizinkan aku untuk beranjak dari tempat yang sudah mulai membuat aku muak ini. Namun, lebih muak lagi, apabila aku harus pulang ke dalam penjaraku. Sebuah kurungan, yang tak lebih dari sebuah kandang sapi. Mungkin lebih parah dari itu. Jika aku membayangkan bagaimana itu tempat yang mereka sebut "Rumah", namun tak kudapatkan kesan nyaman sedikitpun disana.

Ketika pagi-pagi betul aku sudah pergi dari tempat itu dan aku baru akan pulang ketika Magrib akan menjelang. Terkadang aku tidur dirumah siapa saja yang sudi memberikan aku tumpangan untuk beberapa jam kedepan.

* * *

Sekarang waktu dijam tanganku sudah menunjukkan pukul 03.13. Waktu dimana seharusnya klab ini tutup. Sudah hampir setiap hari, dimana saat-saat kejenuhan menghampiri ku, aku berada ditempat ini, hanya sekedar untuk me-refresh segala isi yang ada diotak ku. Setidaknya, untuk satu minggu ini otak ku sudah terisi penuh oleh amarah. Sekarang, pengunjung diKlab malam ini hanya tinggal dua. Ditambah dengan dua orang pelayan yang mungki sudah bosan melihat wajah kusut ku sejak tadi.

Tak jauh dari pandanganku, ada seorang wanita yang tampaknya bernasib sama denganku. Wajahnya kusut seperti rumput yang terlalu sering diinjak-injak. Sebenarnya aku ingin mendekatinya, namun sudah kukatakan tadi, kalau badanku ini sudah tak mengizinkan aku untuk beranjak dari sini.

Aku memperhatikannya, aku terkesan melihat penampilannya. Rambut terurai sebahu, padahal jika rambutnya dikuncir saja, aku bisa melihat pemandangan lainnya disana. Apa yang bisa kutahan, saat melihat wanita dengan menggunakan rok satu jengkal dari pinggang. Tentunya aku berfikir dua kali untuk mempertahankan imanku.

* * *

. "Mas.. mas.. tempat ini udah mau ditutup." Tegur seorang pelayan laki-laki yang mencoba mengusir saya dengan nada halus.

. "Tapi, bagaimana dengan wanita disana? kenapa tak kau suruh juga dia untuk pergi?" Jawabku dengan nada tinggi.

. "Wanita yang mana mas?. Disini hanya ada mas sendiri, kami para pelayan hanya menunggu mas pulang sekrang."

Oh no!
apakah ini yang namanya mabuk? selama aku kesini, aku tak pernah mabuk,! apa karena alkohol blue whilskey yang kuminum dari tadi ini yang terlalu besar. Sehingga tingkat halusinasi ku meledak?

. "Eh pelayan tolol! Apa kamu benar tak melihat wanita cantik disana?."

. "Disini, wanita nya hanya tinggal pelayan yang ada di dapur sana mas. Itupun dia sudah bersiap-siap akan pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan ku.

Ahh!! fikiran ku semakin mengada-ngada, aku melayang kedalam sebuah fatamorgana yang aneh. Dengan spontan, ku hentakan gelas besar yang isisnya tinggal satu perempat minuman lagi itu dengan keras. Tak heran, hal itu membuat pelayan tolol tadi pergi dan meninggalkanku. Mungkin dia berfikir kalau aku telah menjadi anjing gila karena bir ini.

Beberapa detik kemudian, aku menolehkan wajahku pada wanita cantik tadi duduk. Aku terkejut dan tak bisa berbicara lagi, dia tak ada lagi disana. Padahal kurang dari 5 detik yang lalu, mataku masih indah memandanginya. Apa dia bisa menghilang? atau ini yang nama nya hantu?

Apa ini pengaruh blue whilskey yang sudah kuminum hingga gelas ke-13 yang aku hentakkan ke tanah tadi. Aku semakin gila malam ini, aku semakin tak karuan. Niat ku untuk menenangkan fikiran disini malah membuat ku kalang kabut tak tertahankan.

* * *

Aku makin gila, ketika mobil yang aku kendarai hampir saja menabrak 2 orang pejalan kaki, dan itulah puncak kegilaan halusinasiku malam ini. Kalau saja tadi mereka berhasil mencium roda mobilku, dapat dipastikan, aku akan habis dipukul dan ditelanjangi satpam yang jaraknya tak jauh dari tempat ini.

Untunglah aku kembali. Kembali menginjakkan kaki ku dipenjara ini. Dan saat itu juga aku mengganti sebutan penjara menjadi istana. Karena mulai pagi esok, aku tak akan lagi lama-lama pergi dari istana yang harus mulai kucintai ini, apalagi mengunjungi tempat berhantu macam semalam. Sungguh tak ingin aku kesana lagi.

Posted in | Leave a comment

Perbedaan Diatas Persamaan

Lama hidup di perkotaan, telah membuat saya terbiasa dengan apa saja yang ada disini. Mulai dari suasana kota yang tak tenang, hingga polusi udara yang semakin hari semakin dahsyat. Atau, hawa dingin yang senantiasa bersahabat dengan udara kota.

Jauh dari kota, tepatnya berjarak waktu tempuh lebih dari 13 jam dari palembang. Saya menginjakkan kaki disebuah desa. Desa Sikadamai, atau lebih dikenal dengan nama Desa Lebong panjang. Letaknya pun tak kurang jauh 3 jam dari kota Curup, Provinsi Bengkulu. Disana saya menghabiskan waktu lebaran di kediaman nenek.

Pertama kali menginjakkan kaki, saya sudah terbayang dengan angan-angan, kalau saya pasti tidak akan betah disini. Apakah saya bisa tidur? Apakah saya bisa makan disini? atau saya bisa boker tenangkah disini? Dan ketika kaki saya sampai disebuah kamar, saya langsung membaringkan badan. Mengingat kami sampai sekitar pukul 8 pagi, dan pergi selepas buka puasa kemarin nya dari palembang.

Ketika siang harinya saya bangun. Saya diajak kakak sepupu untuk jalan-jalan mengelilingi desa ini. Sebuah ajakan yang sangat sayang untuk saya tolak. Inilah perbedaan pertama yang saya temukan. Masyarakat dikota, kebanyakan anak seusia saya, mereka lebih dingin. Dalam artian tidak terbuka dengan orang yang baru mereka lihat. Jauh berbeda. DiDesa, anak sebaya saya sangat Welcome dengan anak baru macam saya ini. Bahkan mereka yang tak kenal sama sekalipun, tak canggung untuk menyapa saya.

Dari hal-hal kecil, saya menemukan sebuah pemikiran baru. Sebenarnya banyak orang mengatakan bahwa pergaulan dikota itu lebih bebas dan cenderung tak terkendali. Sebetulnya sama saja. Bayangkan saja, di desa ini anak SD saja sudah diperbolehkan merokok. Rokok memang tidak terlepas dari desa ini, karena mayoritas masyarakat didesa ini adalah perokok. Baik laki-laki maupun perempuan, tak ada larangannya.

Pergaulan malam pun disini seperti tanpa batasannya. Bayangkan, jam berapapun anak-anak disini mau pulang kerumah, tak sedikitpun para orang tua mencari. Saya sendiri berfikir wajar saja mereka seperti itu. Karena sebagaimana kita ketahui, kebanyakan orang desa itu perantau, jadi mungkin para orang tua belajar memaklumi anaknya pulang malam, karena suatu saat mereka akan melepas anak-anaknya sebagai seorang perantau.

Mengenai keamanan, sungguh sangat mengagetkan saya. Bayangkan, mengenai kendaraan. Disana saya akui, Memang sangat aman. Bayangkan saja, setiap malam, motor hanya diparkirkan didepan rumah. Atau bahkan dipinggir jalan. Lebih parah lagi, tak jarang kunci motor nya masih tergantung dimotor itu sendiri. Karena kebanyakan dari mereka malas menyimpan kunci di tempat lain, karena mereka takut lupa. Dan kita saya tanya kenapa mereka begitu berani nya seperti ini, mereka jawab : "Disini aman, tidak pernah terjadi curanmor, karena memang disini hidupnya saling mengerti dan pengertian". Mungkin kalian bisa bayangkan bagaimana kalau ada motor yang terkapar dipinggir jalan kota Palembang, lengkap dengan kunci nya. Pasti besok sudah ada di Koran.

Dari kebersamaan yang jarang saya temukan di kota, desa ini saya merasakan dalam satu keluarga berkumpul semua anggota nya mulai dari kakek nenek, paman bibi, anak cucu, bahkan cicit nya pun ikut hanya untuk bercerita dari sebuah malam. Kalau sudah seperti itu, Cemilan-cemilun pun tak sedikit dikeluarkan, dan ditemani dengan teh untuk menepiskan dingin nya malam pedesaan.

Keberagaman budaya yang sangat mendasar inilah yang membuat saya mendapatkan sebuah inspirasi. Betapa perbedaan sekecil apapun bisa kita cermati dan pelajari. Sebuah Perbedaan Diatas Persamaan.

Posted in | Leave a comment
Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.